Artikel Keluarga

16

MAR

Savira Savitry

ANTARA NASAB DAN NASIB

Saya memulai tulisan ini dengan mengutip Qur’an Surah Al-Mu’minun ayat 101:

فإذا نفخ في الصور فلا أنساب بينهم يومئذ ولا يتساءلون

“Apabila sangkakala ditiup (hari kiamat telah tiba), maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu (maksudnya nasab tidak bisa menolong), dan tidak pula mereka saling bertanya.”

Pada hari kiamat nanti, hubungan keluarga tidak akan menjadi penentu nasib seseorang.

Banyak yang salah paham, mengira bahwa:

Anak dari orang sholeh pasti selamat, sedangkan anak pelaku maksiat pasti celaka.

Padahal, keselamatan di akhirat bergantung pada rahmat Allah, yang diberikan kepada mereka yang beramal saleh.

Allah berfirman dalam Qur’an Surah Al-A’raf ayat 56:

ان رحمت الله قريب من المحسنين

“Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”

Contohnya Kan’an, putra Nabi Nuh, tidak selamat karena dia tidak beriman.

Sebaliknya, Ikrimah, putra Abu Jahal, justru termasuk orang mulia karena ia beriman dan beramal saleh.

Artinya, iman tidak bisa diwariskan. Begitu pula keselamatan di akhirat, kehormatan pun tidak bisa diwariskan.

Meskipun keturunan orang terpandang, jika perilakunya buruk, ia tetap dipandang rendah oleh orang lain.

Sebaliknya, meskipun keturunan orang yang bejat, jika ia beriman dan berbuat baik, orang pasti akan menghormatinya.

Nabi bersabda dalam hadits riwayat Muslim nomor 2699:

ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه

“Barang siapa yang lambat amalnya, maka nasabnya tidak akan bisa mengejarnya (menolongnya).”

Imam Nawawi rahimahullah mengomentari hadits tersbut dalam kitab Al-Minhaj Syarah Shohih Muslim, juz 17 halaman 21 :

معناه من كان عمله ناقصا لم يلحقه بمرتبة أصحاب الأعمال، فينبغي ألا يتكل على شرف النسب وفضيلة الآباء ويقصر في العمل. وقال بعض أهل العلم: من قصر به عمله عن الوصول إلى درجات الصالحين لم ينفعه حسبه ونسبه ولو انتسب إلى النبيين والصديقين

“Makna hadits ini adalah: Barang siapa yang amalnya itu kurang, maka dia tidak akan sampai pada derajat mulia orang-orang yang (ahli beramal). Oleh karena itu, seyogyanya seseorang tidak mengandalkan nasabnya dan keutamaan nenek moyangnya, yang akhirnya ia malah sedikit beramal. Sebagian ahli ilmu juga menyatakan: Barang siapa yang amalnya tidak dapat membawanya ke derajat orang-orang yang sholeh, maka tidak akan bermanfaat silsilah dan nasabnya, meskipun ia termasuk keturunan para nabi dan para shiddiqqin (orang-orang yang benar).”

Jadi, nasab tidak menentukan nasib. Prestasi kita sebagai mukmin yang baik di dunia inilah yang akan menentukan nasib kita di akhirat.

Kalau misalnya seseorang punya nasab kepada nabi pun, itu tidak ada gunanya jika dirinya sendiri tidak punya prestasi sebagai seorang mukmin yang baik.

Allah berfirman dalam Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 13:

إن أكرمكم عند الله أتقاكم

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.”

Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa keutamaan seseorang di sisi Allah ditentukan oleh ketaqwaannya, bukan keturunannya.

وقوله: (إن أكرمكم عند الله أتقاكم) أي إنما تتفاضلون عند الله بالتقوى لا بالأحساب. [تفسير ابن كثير، ٧/٣٨٦]

Begitu pula Imam Ath-Thobari dalam kitab tafsirnya: kemuliaan seseorang di sisi Allah bukan karena besar rumahnya atau banyak keluarganya, melainkan karena ketaqwaan dan amalnya.

قوله: (إن أكرمكم عند الله أتقاكم)، إن أكرمكم أيها الناس عند ربكم، أشدّكم اتقاء له بأداء فرائضه واجتناب معاصيه، لا أعظمكم بي تا ولا أكثركم عشيرة. [تفسير الطبري، ٢٢/٣١٠]

Wallahu a’lam

guest
0 Comments
Inline Feedbacks
Lihat semua komentar
0
Yuk Berpendapatx
()
x